Dan pada akhirnya, namaku sudah kamu letakkan dalam catatan lelahmu mempertahankan ketidakpastianku. Sungguh, sama sekali aku tidak ingin melepaskan genggamanmu bahkan mengendurkannya, hanya saja aku yang belum kuasa mengendalikan rasa dalam berbagai situasi, serta terlambatnya rasaku mengakui ketulusanmu. Tapi inilah waktunya, memang sudah semestinya ini terjadi selambat laun waktu berjalan, karena rasamu bagaikan abu yang menggantung di udara, selama yang kamu bisa bukan kepastian yang kamu dapatkan, melainkan luka, luka dan luka. Sungguh banyak luka yang kamu sembunyikan lalu perlahan kamu maafkan, tiada pun yang tahu kecuali dirimu dan Tuhanmu. Itulah dirimu dimataku, sosok tulus yang memiliki segala sesuatu luar biasa. sosok tulus yang selalu menghormati setiap langkahku, mempertahankan senyumanku, dan mati-matian menjaga hati untukku. Aku tidak pernah bertemu dengan seorangpun yang bisa bersisian dibandingkan denganmu. Namun sungguh disayangkan, kehadiranmu memang kurasakan, kesungguhanmu memang jelas terpampang, tapi aku sungguh terlambat menyadari segala hal yang seharusnya bisa membuatmu bahagia luar biasa. Aku membuka, tapi ketika kamu sudah berbalik arah bukan mengikuti jejakku. Aku menerima, tapi ketika kamu sudah bersimpuh lelah berlari dengan peluh yang membuatmu jatuh. Aku menyadari, tapi ketika kamu sudah putus asa menghadapi segala luka-luka bebat yang aku buat. Aku menyesal, tapi ketika sudah terbangun kuat tembok yang menyekat antara aku dan kamu yang sudah ada dia disisimu. Bodoh! Bagaimana aku lupa bahwa hatimu bukanlah baja yang bahkan tidak tembus peluru menghantamnya? Bagaimana aku lupa bahwa hatimu adalah hati terlembut bak kapas yang selalu putih diantara awan diudara?. Bagaimana aku melupakan semua itu yang jikapun aku berada di posisimu bahkan akan sudah lama melepasnya? Kamu sungguh tidak salah memilih jalan itu, berbalik lalu menyambut ratu baru yang lebih bisa cepat mengerti ketulusanmu dan memiliki ketulusan yang sama denganmu. Sudah saatnya aku sampai di penghujung jalan, tentang aku yang terlambat menyadari hadirmu, dan tentang kamu yang lelah dengan semua pertahananmu. Aku sempat tertawa melihat diriku yang melakukan suatu hal yang sangat unfaedah, menyesal. Merubah keadaan? Tidak. Mengembalikan yang sudah hilang? No. Mengulang kembali kejadian? Mustahil sekali. Hanya sia-sia, tapi aku masih betah dengan hujan-hujan kecil yang berjatuhan dari kedua kelopak mataku. Setidaknya, biarkan aku meluapkan rasa sesak yang menghimpit dunia dalam dari diriku. Sebentar saja, aku tidak akan lama, tapi aku belum bisa berjanji akan mengakhirirnya segera. Retak yang sebenar-benarnya retak sudah resmi aku rasakan setelah sekian lama bermain dengan rasa sakit yang masih biasa. Disinilah muara sesak itu berada. Disinilah puncak sakit itu berdiam, menungguku menujunya. Aku telah sampai. Tapi aku juga harus kembali kebawah sana setelah mencapai puncak ini, aku harus kembali kepada kehidupanku yang penuh kejutan, penuh pelangi dan juga hujan bahkan badai petir. Kisah selesai, tapi aku masih mempunyai kepingan kaset rusak yang kebanyakan orang menyebutnya kenangan. Entah akan tertinggal di persimpangan jalan atau abadi dalam musik yang mengiringi setiap hariku aku tidak akan mempermasalahkannya, pun aku tidak perlu membuangnya karena aku tau akan sia-sia. Semoga inilah kebahagiaanmu, semoga inilah saatnya ketulusanmu dibalas kembali dengan ketulusan, bahkan lebih besar. Aku tetap akan mengaminkan, meski retakan itu semakin panjang, itu doaku, sesuatu yang terucap dari mulutku dan berwujud rangkaian huruf yang membentuk kalimat. Aku ikhlas, kemanapun rasa ini pergi, aku akan mengikutinya. Aku yakin, perlahan tapi pasti, aku akan menemukan sosok baru yang mengertiku hingga lebih bisa membuatku bersyukur, entah itu sosokmu lagi atau sosok lain aku tidak peduli. Karena aku tidak akan bodoh untuk yang kedua kalinya dengan membiarkan orang-orang yang menyayangiku bersimpuh lelah mengikuti langkahku
Ayah. Aku mengawali kalimat dengan topic yang aku bahagia ketiku menyebutnya tetapi sakit ketika menjabarkannya. Aku minta maaf ayah sudah meletakkan luka dalam gelar hebatmu. Aku minta maaf telah mengguyur air mata pada nama besarmu. Aku minta maaf ayah. Putrimu ini adalah seorang pengharap yah. Ya, sebelum ini putrimu sangat berharap besar kepadamu. Tentang keindahan kasih, ketulusan rasa dan kekuatan ikatan. Tetapi ternyata kau baik sekali ayah. Kau mengingatkanku kepada Allah, Tuhanku. Bahwa Allah tidak suka hambanya berharap kepada selain-Nya. Maka terima kasih ayah, engkau sudah menunjukkan hal besar yang aku lupakan. Kau tetaplah ayahku, doa yang setiap saat melangit agar ragamu selalu dalam keadaan baik-baik saja. Meski dengan menyebutmu lukaku semakin merah berdarah, tetapi aku mencintaimu. Aku tetap mencintaimu. Jikapun ceritanya bukan seperti anggapanku selama ini, aku ikhlas ayah. Sekali lagi, kau mengajarkan keikhlasan yang begitu besar didalam jiwa putrimu ini. Kau meniti...
Komentar
Posting Komentar